Sendiri. Dalam keheningan yang nyata aku terbuai akan pikiran masa lalu. Ia terus menghantuiku hingga kini. Aku tak mampu menahan gejolak jiwa dari letupan dusta yang menghancurkan semangat. Saat ini. Disudut kamar aku terduduk, melihat cahaya mentari yang menembus hati. Aku masih merasakan keharmonisan alam dengan berjuta keindahannya. Hatiku tak secerah langit siang itu.
"Kamu kenapa termenung disitu, nak?" sahut ibuku dari pintu kamar yang terbuka.
Aku terkejut dan menoleh. "Um, nggak ada apa-apa kok ma," jawabku lalu kembali melihat menerawang jendela.
Bayangku melanglang buana entah kemana. Pikiranku seakan terkontaminasi akan perkataan masa lalu itu. Mati! Sepenggal kata yang membuat batinku hancur, yang membuat jasadku melebur dalam tawa ketakutan. Aku hanya bisa terpaku diam dalam perangkap semu. Aku mati?
"Jika tawa akan hadir dalam pelukan. Aku ingin.
Jika senyum mengobati luka goresan. Aku rela."
Aku seakan pasrah dalam kebuntuan resah. Rasa ini terlalu abstrak untuk kurangkai dalam kata. Rasa ini terlalu sulit untuk terucap. Kematian yang sekejap dalam iringan senyum dan tawa, mungkin akan dapat kuterima. Seandainya ini memang suratan takdir, kalaupun ini hanya keresahan semu, aku tetap saja bimbang. Hatiku masih bergetar dan tak tenang. Rentan.
"Kau terlihat gelisah," Ayaku tiba-tiba datang. Menghampiriku yang berada didalam kamar.
"Iya yah," aku semakin menundukkan kepala.
"Kenapa?"
"Aku akan mati hari ini. Semua orang akan mati."
Ayahku tertarik kebelakang lalu menatapku kosong. Ia terkejut. Aku tak pernah melihatnya seperti itu - matanya melotot sambil bercekak pinggang. Tiba-tiba tangan kanannya ia ulurkan kepadaku, menarikku paksa dan mengajakku ke suatu tempat.